Ali albyhaqiy

Sukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup, tapi dari kesulitan-kesulitan yang berhasil diatasi ketika berusaha meraih sukses

WAKTU WAKTU DOA MUSTAJAB

Berdoa dianjurkan kapan saja. Tetapi ada saat-saat istimewa. Kapan?

1. Waktu sepertiga malam terakhir saat orang lain terlelap dalam tidurnya. Allah SWT berfirman:
“…Mereka (para muttaqin) sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).”(QS. Adz-Dzariyat: 18-19).

Rasulullah SAW bersabda:
“Rabb (Tuhan) kita turun di setiap malam ke langit yang terendah, yaitu saat sepertiga malam terakhir, maka Dia berfirman : Siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu maka Aku berikan kepadanya, dan siapa yang meminta ampun kepadaKu maka Aku ampunkan untuknya”. (HR. Al-Bukhari no. 1145, 6321 dan Muslim no. 758).

Dan Amr bin Ibnu Abasah mendengar Nabi SAW bersabda:
“Tempat yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia dalam sujudnya dan jika ia bangun melaksanakan shalat pada sepertiga malam yang akhir. Karena itu, jika kamu mampu menjadi orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu maka jadilah.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan di-shahih-kan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani).

2. Waktu antara adzan dan iqamah, saat menunggu shalat berjama’ah. Sayangnya waktu mustajab ini sering disalahgunakan sebagian umat Islam yang kurang mengerti sunnah atau oleh orang yang kurang menghargai sunnah, sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan Islam, membicarakan urusan dunia, atau hal-hal lain yang tidak bernilai ibadah.

Hal-hal semacam ini sangat merugikan pelakunya karena tidak mengikuti sunnah Nabi SAW dengan sempurna.

Ketentuan waktu ini berdasarkan hadits Anas bin Malik RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Doa itu tidak ditolak antara adzan dan iqamah, maka berdoalah!” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan menurut Al-Arnauth dalam Jami’ul Ushul).

Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr Ibnul Ash RA, bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu telah mengungguli kita”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Ucap-kanlah seperti apa yang diucapkan oleh para muadzin itu dan jika kamu selesai (menjawab), maka memohonlah, kamu pasti diberi.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban, di-hasan-kan oleh Al-Arnauth dan Al-Albani).

3. Pada waktu sujud. Yaitu sujud dalam shalat atau sujud-sujud lain yang diajarkan Islam. Seperti sujud syukur, sujud tilawah dan sujud sahwi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Keberadaan hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim).

Dan hadits Ibnu Abbas RA, ia berkata : “Rasulullah SAW membuka tabir (ketika beliau sakit), sementara orang-orang sedang berbaris (shalat) di belakang Abu Bakar RA, maka Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak tersisa dari mubasysyirat nubuwwah (kabar gembira lewat kenabian) kecuali mimpi bagus yang dilihat oleh seorang muslim atau diperlihatkan untuknya. Ingatlah bahwasanya aku dilarang untuk membaca Al-Qur’an ketika ruku’ atau ketika sujud. Adapun di dalam ruku’, maka agungkanlah Allah dan adapun di dalam sujud, maka giat-giatlah berdoa, sebab (hal itu) pantas dikabulkan bagi kalian.” (HR. Muslim).

4. Setelah shalat fardlu. Yaitu setelah melaksanakan shalat-shalat wajib yang lima waktu, termasuk sehabis shalat Jum’at. Allah berfirman:
“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan selesai shalat.” (QS. Qaaf: 40).

Juga berdasarkan hadits Umamah Al-Bahili, ia berkata : “Rasulullah SAW ditanya tentang doa apa yang paling didengar (oleh Allah), maka beliau bersabda: “Tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat yang diwajibkan.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: hadist ini hasan).

Karena itu Imam Syafi’i dan para pengikutnya berkata, dianjurkan bagi imam dan makmumnya serta orang-orang yang shalat sendirian memper-banyak dzkir, wirid dan doa setelah selesai shalat fardhu. Dan dianjurkan membaca dengan pelan, kecuali jika makmum belum mengerti maka imam boleh mengeraskan agar makmum menirukan. Setelah mereka mengerti, maka semua kembali pada hukum semula yaitu sirri (samar-samar). (Syarh Muhadzdzab, III/487).

5. Pada waktu-waktu khusus, tetapi tidak diketahui dengan pasti batasan-batasannya. yaitu sesaat di setiap malam dan sesaat setiap hari Jum’at. Hal ini berdasarkan hadist Jabir RA, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya di malam hari ada satu saat (yang mustajab), tidak ada seorang muslim pun yang bertepatan pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan urusan dunia dan akhirat melainkan Allah pasti memberi kepadanya.” (HR. Muslim).

Hadits Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut hari Jum’at, beliau bersabda:
“Di dalamnya ada satu saat (yang mustajab) tidaklah seorang hamba muslim yang kebetulan waktu itu sedang mendirikan shalat (atau menunggu shalat) dan memohon kepada Allah sesuatu (hajat) melain-kan Allah pasti mengabulkan permo-honannya.” dan Nabi mengisyaratkan dengan tangannya akan sedikitnya saat mustajab itu. (HR. Al-Bukhari).

Di dalam hadist Muslim dan Abu Dawud dijelaskan: “Yaitu waktu antara duduknya imam (khatib) sampai selesainya shalat (Jum’at)”. Inilah riwayat yang paling shahih dalam hal ini. Sedangkan dalam hadist Abu Dawud yang lain Nabi memerintahkan agar kita mencarinya di akhir waktu Ashar.

An-Nawawi rahimmahullah menjelaskan bahwa para ulama berselisih dalam menentukan saat ijabah ini menjadi sebelas pendapat. Yang benar-benar saat ijabah adalah di antara mulai naiknya khatib ke atas mimbar sampai selesainya imam dari shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan hadist yang sangat jelas dalam riwayat Muslim di atas.

Imam An-Nawawi rahimmahullah melanjutkan: “Adapun hadist yang berbunyi: ‘Carilah saat itu pada akhir sesudah Ashar’ (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad shahih), maka hal ini memberi kemungkinan bahwa saat ijabah itu bisa berpindah-pindah, kadang-kadang di saat ini, kadang-kadang di saat itu seperti halnya lailatul qadar.”

Imam Ahmad rahimmahullah berkata: “Kebanyakan ahli hadits menyatakan saat itu adalah setelah Ashar dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari.” Lain dengan Ibnu Qayyim. Beliau menjadikannya sebagai dua waktu ijabah yang berlainan. Dalam Kitab Al-Jawabul Kafi beliau berkata:

“(Pertama), jika doa itu disertai dengan hadirnya kalbu dan totalitasnya dalam berkonsentrasi terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari waktu-waktu ijabah yang enam itu, yaitu :

Sepertiga akhir dari waktu malam.
Ketika adzan.
Waktu antara adzan dan iqamah.
Setelah shalat-shalat fardlu.
Ketika imam naik ke atas mimbar pada hari Jum’at sampai selesainya shalat Jum’at pada hari itu.
Waktu terakhir setelah Ashar”.
(Kedua), jika doa tadi bertepatan dengan kekhusyu’an hati, merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa. Menghadap kiblat, berada dalam kondisi suci dari hadats, mengangkat kedua tangan, memulai dengan tahmid (puji-pujian), kemudian membaca shalawat atas Muhammad. Lalu bertobat dan beristighfar sebelum menyebutkan hajat. Kemudian menghadap kepada Allah, bersungguh-bersungguh dalam memohon dengan penuh kefaqiran, dibarengi dengan rasa harap dan cemas. Dan bertawassul dengan asma dan sifatNya serta mentauhidkanNya. Lalu ia dahului doanya itu dengan sedekah terlebih dahulu, maka doa seperti itu hampir tidak tertolak selamanya. Apalagi jika memakai doa-doa yang dikabarkan Nabi SAW sebagai doa yang mustajab atau yang mengandung Al-Ismul-A’zham (Nama Allah Yang Mahabesar).” Ya Allah, kabulkanlah doa-doa kami.

Read More......

Keutamaan Basmalah

Membaca basmalah disunnahkan pada saat mengawali setiap pekerjaan. Disunnahkan juga pada saat hendak masuk ke kamar kecul (toilet). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadis. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudhu, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis marfu' dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab sunan, dari Abu Hurairah, Sa'id bin Zaid dan Abu Sa'id, Nabi saw bersabda yang artinya, "Tidak sempurna wudhu bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya." (Hadis ini Hasan).

Juga disunnahkan dibaca pada saat hendak makan, berdasarkan hadis dalam Sahih Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada Umar bin Abi Salamah: "Ucapkan 'bismillah', makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu."

Meski demikian, di antara ulama ada yang mewjibkannya. Disunnahkan pula membaca ketika hendak berijma' (melakukan hubungan badan), berdasarkan hadis dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, "Seandainya seseorang di antara kalian apabila hendak mencampuri istrinya membaca, 'Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami', jika Allah menakdirkan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu setan selamanya."

Kata "Allah" merupakan nama untuk Rabb. Dikatakan bahwa Allah adalah al-ismul-a'zham (nama yang paling agung), karena nama itu menyandang segala macam sifat, sebagaimana firman Allah yang artinya, "Dialah Allah yang tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 22).

Dengan demikian, semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Sesungguhnya Allah itu mempunyai 99 nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menguasainya, maka ia akan masuk surga."

Mengenai daftar nama yang sesuai dengan jumlah bilangan ini diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Namun, antara kedua riwayat itu terdapat perbedaan tambahan dan pengurangan. (Maksudnya disebutkan di dalam riwayat Tirmizi nama-nama yang tidak disebutkan di dalam riwayat Ibnu Majah, demikian juga sebaliknya, pent).

Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapa pun selain diri-Nya, yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka, di antara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (Allah) adalah ismun jamid, yaitu nama yang tidak mempunyai kata dasar.

Al-Qurthubi mengutip hal itu dari sejumlah ulama yang di antaranya adalah Imam Syafi'i, al-Khathabi, Imamul Haramain, al-Ghazali, dan lain-lain.

Dari al-Khalil dan Sibawaih diriwayatkan bahwa "alif" dan "lam" dalam kata "Allah" merupakan suatu yang lazim (tak terpisahkan). Al-Khathabi mengatakan, "Tidaklah anda menyadari bahwa anda dapat menyerupakan 'ya Allah' dan tidak dapat menyerukan, 'ya ar-Rahman'." Kalau hal itu bukan dari asal kata, maka tidak boleh memasukkan huruf nida' (seruan) terhadap "alif" dan "lam". Ada juga yang berpendapat bahwa kata Allah itu mempunyai kata dasar.

Ar-rahmanirrahim merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-rahmah. Ar-rahman lebih menunjukkan makna yang lebih daripada kata ar-rahim.

Dalam pernyataan Ibnu Jarir, dapat dipahami adanya kecenderungan mengenai hal ini. Sedangkan dalam tafsir sebagian ulama salaf terdapat ungkapan yang menunjukkan hal tersebut.

Al-Qurthubi mengatakan, dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq adalah hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdurrahman bin Auf ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: 'Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim (rahm-kerabat). Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Aku pun memutuskannya'."

Ini merupakan nash bahwa nama tersebut adalah musytaq, karena itu tidak diterima pendapat yang menyalahi yang menentang.

Abu Ali al-Farisi mengatakan, ar-rahman merupakan nama yang bersifat umum dalam segala macam bentuk rahmat, dikhususkan bagi Allah SWT semata. Sedangkan ar-rahim, dimaksudkan bagi orang-orang yang beriman. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan Dialah yang Maha Penyanyang kepada orang-orang yang beriman." (Al-Ahzab: 43).

Ibnu al-Mubarak mengatakan ar-Rahman yaitu jika dimintai, Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya, Dia akan murka. Sebagaimana dalam hadis riwayat at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih al-Farisi al-Khuzui, dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya."

Nama "ar-Rahman" hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya, "Katakanlah: 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai al-Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Israa': 110).

Oleh karena itu, ketika dengan sombongnya Musailamah al-Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan rahman al-yamamah, maka Allah pun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah si pendusta).

Sedangkan mengenai "ar-Rahim", Allah Ta'ala pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya, yang dalam firman-Nya Allah menyebutkan yang artinya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At-Taubah: 128).

Sebagaimana Dia juga pernah menyebut selain diri-Nya dengan salah satu dari nama-nama-Nya, sebagaimana firman-Nya yang ertinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari seteter air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia sami'an (mendengar) dan bashiran (melihat)." Al-Insan: 2).

Dapat disimpulkan bahwa di antara nama-nama Allah itu ada yang disebutkan untuk selain diri-Nya, tetapu ada juga yang tidak disebutkan untuk selain dri-Nya, misalnya nama Allah, ar-Rahman, al-Khaliq, ar-Razzaq, dan lain-lainya.

Oleh karena itu, Dia memulai dengan nama Allah, dan menyifati-Nya dengan ar-Rahman, karena ar-Rahman itu lebih khusus daripada ar-Rahim.

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi'i

Read More......

Link Exchange

negeriads.com

About this blog

Commen_Box Q


ShoutMix chat widget